Source. |
"Aceh itu santai aja soal gaya. Mau pakai jubah ala arab, afrika, cina, atau hindustan, gak masalah. Mau pakai kopiah hitam nusantara, kain sarung nusantara, baju koko ala cina, atau peci putih gaya arab, diterima.
Eh ada yg bilang liberal.
Loh, kok liberal? Islami donk. Soalnya dalam islam kan aturannya semua dah ada. Mo pake gaya maroko, cina atau eropa, mo pake bahasa pengantar apa, semuanya gak dilarang, asal memenuhi unsur syar'i nya kan? smile emoticon
Yang gak boleh diubah juga jelas. Ngaji pakai bahasa yg digunakan Qur'an, aturannya sesuai aturan baca Qur'an. Shalat pakai bahasa Qur'an, seperti juga hadits. Itu aturannya jelas, itu juga yg disunnahkan. Gak suka? Ya ini cuma wajib buat muslim kok. Keberatan? Balik lagi ke syahadat. Itu aturannya.
Soal bahasa arab, itu memang identitas islam. Bukan krn bangsa arabnya, tp krn itu yg Allah tetapkan. Sama seandainya Islam turun di eropa, trus Allah menetapkan bahasa identitas adalah bahasa Denmark. Nah ini turunnya kan di Arab.
Kenapa arab?
Jangan buang waktu nanya itu. Allah sudah menetapkan.
Debat usil soal kenapa arab, itu sama dgn debat kenapa hidung di depan. Udah grand designnya gitu kok. God rules gitu loh. Aturan Allah."
captured by alex hidayat |
Yang saya kutip di atas adalah status di laman socmed saya. Sempat di 'pinjam' tanpa izin oleh sebuah media online, dilabeli dengan judul provokatif pula. Padahal saya menulisnya tanpa berniat menyinggung suku lain di Indonesia, suku-suku di satu bangsa besar yang saya hormati.
Saya hanya menuliskan realita di Aceh. Beragam gaya Dunia berjalan dengan santai dan aman. Seperti juga kehidupan antar umat beragama di Aceh, yang damai-damai saja. Saling menjaga dan menghormati sejak dulu kala.
Bisa jadi, sejarah Aceh sebagai salah satu bandar internasional di masa lalu, mempengaruhi budaya Aceh, sehingga tidak terkejut dengan ragam gaya di dunia. Bisa jadi karena budaya Aceh lekat dengan kombinasi dua sistem pendidikan; sekolah dan dayah /pesantren sejak lama. Saya masih ingat, pagi sampai sore sekolah dan les, malamnya kami mengaji di pesantren/mushala/mesjid dibimbing para tengku (ulama). Budaya yang sayangnya mulai berkurang digerus gaya 'sok modern' yang dibawa segelintir orang, yang mungkin terlalu kagum dengan dunia barat. Tapi kurang ilmu dan agama, sehingga justru yang dibawa pulang malah komponen buruk dari sana, yang baiknya tertinggal.
Tapi konsep yang sudah berurat akar masih mampu bertahan (dan saat ini sedang berjuang untuk tidak rusak).
Saya sepakat, dengan pemikiran bahwa kadang kala warna lokal perlu digunakan sehingga pendidikan agama lebih mudah masuk dalam budaya masyrakat. Bukankah itu yang digunakan oleh para ulama pendahulu kita.
Tapi jangan lupa, para ulama terdahulu tidak berhenti sampai di warna lokal saja. Strategi berbicara dengan bahasa lokal itu hanya tahap pembuka. Setelahnya mereka dengan giat membangun pendidikan islam yang lebih dalam.
Memperkenalakan aturan pergaulan lewat syair, lalu mengajari 'fiqh pergaulan' lewat kajian kitab, hadits dan tentu yang utama Qur'an. Memperkenalkan cara menghormati orang lain lewat pantun, lalu menjelaskan aturan lengkapnya dalam ceramah dan khutbah. Tidak berhenti di bagian perkenalan saja.
Kesampingkanlah pendalamanan pemahaman agama, maka syair itu hanya akan dikenal kelak sebagai 'lagu' warisan leluhur tanpa makna sejatinya.
Seperti sekarang ini. Banyak yang belajar agama tanpa ilmu, tanpa memahami. Maka lahirlah pemikiran yang memperdebatkan antara hijab dengan kebaya. Terlupa bahawa kebaya adalah budaya, yang bagi seorang muslim semestinya budaya itu menurut agama.
Atau diskusi bodoh tentang para ibu kita dimasa lalu hanya berkerudung, maka hijab digugat dianggap budaya arab. Berteriak soal kemajuan, namun peningkatan kualitas pemahaman agama ditolak dipaksa bertahan pada hal lama. Tidak melihat bahwa awalnya tak bertutup kepala, lalu berkerudung, kini lebih sempurna. Pemahamannya meningkat.
Tanpa pemahaman agama juga yang membuat kita tidak melihat Islam ini secara utuh. Seolah hijab itu hanya tutup kepala, seolah hijab yang penting lebar. Soal aturan tak boleh tipis, dan aturan lainnya seperti seharusnya dalam fiqh muslimah, dikesampingkan. Jadilah hijab yang seharusnya berfungsi melindungi diri, malah menjadi gaya berhias model baru.
Atau perdebatan usang, soal celana jeans versus baju koko. Hal konyol yang terjadi karena tak paham, bahwa Islam bukan soal apa pakaiannya, tapi soal aturan syar'i-nya yang terpenuhi atau tidak.
Pergilah ke Mesjid Raya Baiturrahman sebagai contoh, dan lihatlah ragam gaya dunia berkumpul mesra. Mereka yang begaya ala arab, berdiri bersisian dengan yang berbaju koko. Ada yang dengan santai mengenakan kemeja, dan berpeci gaya maroko. Di shaf muslimah, mukena yang adalah gaya khas nusantara bersisian dengan muslimah lain yang shalat tanpa mukena, seperti di eropa, amerika, atau arab, karena pakaiannya sudah menutupi aurat dan memenuhi aturan shalat.
Islam itu di desain Allah, dengan konsep universal. Bukan sekedar cocok disemua tempat di dunia, tapi juga cocok di seluruh alur waktu, dari masa lalu sampai masa depan. Pelajari lebih dalam, maka tersenyumlah. Islam cocok di seluruh alam semesta, di planet dan galaksi manapun.
Post a Comment